Darulhikmah Kotabaru-Karawang Hp:082319614273 e-Mail : darulhikmahkotabaru@gmail.com
ARTIKEL
NIKAH DINI
Pendahuluan
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud.
Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.
Dalam kehidupan, selalu muncul hal-hal baru (aktual) yang berkaitan dengan permasalahan hukum pernikahan (fiqh al-Munakahat), di antara kasus-kasus terjadi adalah kontroversi nikah muda atau nikah dini.
Perspektif Fiqh Islam
Dalam perspektif fiqh Islam, penulis tidak menemukan adanya pembatasan usia minimal pernikahan dalam Islam. Justru, dalil-dalil menunjukkan bolehnya pernikahan pada usia dini/belia. Di antara dalil-dalil tersebut yaitu:
1. Al-Qur’an yaitu QS At-Thalaq : 4 dan QS. An-Nisa : ayat 3 dan 127
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ = perempuan yang belum haid diberikan masa ‘iddah selama 3 bulan (Tsalasatu ashur). ‘Iddah itu sendiri terjadi karena kasus perceraian baik karena talak maupun ditinggal mati oleh suaminya. Jadi ‘iddah ada karena pernikahan. Dilalatul iltizam-nya (indikasi logisnya) dari ayat ini adalah wanita yang belum haid boleh menikah. Sehingga para ulama tidak memberi batasan maksimal maupun minimal untuk menikah.
ويقول الله تعالى: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَاب لَكُمْ مِنْ الْنِّسَاءَ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ[النساء:3]
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim , maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
قال الله تعالى : وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاتِي لا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (An-Nisa : 127)
. قالت أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها في تفسير هذه الآية عندما سألها عنها ابن أختها عروة بن الزبير : يا ابن أختي هي اليتيمة تكون في حجر وليها، تشاركه في ماله، فيعجبه مالها وجمالها، فيريد أن يتزوجها بغير أن يقسط في صداقها، فيعطيها مثل ما يعطيها غيره، فنهوا أن ينكحوهنَّ إلا أن يقسطوا لهنَّ، ويبلغوا بهنَّ أعلى سنتهنَّ في الصداق. متفق عليه.
Ummul Mukminin Aisyah ra dalam menafsirkan ayat ini ketika ditanyakan oleh keponakannya Urwah bin Zubair berkata; “Wahai anak saudariku, perempuan (yang dimaksud ayat itu) adalah anak perempuan yatim yang tinggal dalam rumah walinya (laki-laki), yang hartanya digabung dengan harta walinya, walinya pun tertarik pada harta dan kecantikan gadis itu. Diapun ingin menikahinya tanpa bersikap adil dalam pemberian (mahar dan nafkahnya). Pemberian Laki-laki itu padanya sama dengan yang lain. Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka dengan memberikan melebihkan pemberian pada mereka” (HR Muttafaq ‘alaih)
Perkataan Aisyah ra : “Diapun ingin menikahinya….….Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka….” menunjukkan bolehnya (masyru’iyah) pernikahan pada usia dini bagi gadis yang belum baligh. Karena pengertian yatim itu diberkan bagi yang belum baligh
Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib al Muharibi dalam al Muharror al Wajiz mendefinisikan al-Yatim pada manusia adalah anak kecil (as-Shobiy) yang tidak memiliki bapak. Adapun pada binatang, al-yatim adalah jika tidak memiliki ibu. Sifat yatim dilekatkan pada usia belum baligh. Sebagaimana sabda Nabi SAW: « لا يتم بعد حلم »artinya “tidak disebut yatim bila telah bermimpi (tanda baligh)”.
2. Hadis Rasulullah SAW
عَنْ عَائِشَةَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وَأُدْخِلَتْ عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi)
Dijelaskan dalam ‘Umdat al-Qori karya Badruddin al-‘aini al-Hanafi bahwa Aisyah dinikahi Rasulullah pada umur 6 tahun, yaitu 3 tahun sebelum Hijrah. Rasulullah hijrah lebih dahulu bersama shahabat sekaligus mertuanya Abubakar as-Shiddiq. Kemudian sekitar 6 atau 7 bulan kemudian Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ keduanya pelayan/asisten Nabi dengan modal 2 ekor onta + 500 dirham untuk membeli onta lagi. Mereka menjemput Aisyah, Ibundanya Ummu Ruuman dan saudari Aisyah, Asma’ bintu Abibakar.
Rasulullah memulai hidup berumahtangga dengan Aisyah pada bulan Syawwal pada saat Aisyah berumur 9 tahun. Rasulullah meninggal pada saat Aisyah berumur 18 tahun.
Berdasarkan hadis tersebut para ulama, di antaranya Imam as-Syaukani, menyatakan bahwa Boleh bagi seorang bapak menikahkan anak gadisnya yang masih kecil/belum baligh.
3. al-Ijma’
Bolehnya seorang bapak untuk menikahkan anak gadis kecilnya yang telah baligh merupakan ijma’ ulama, atau minimal ijma’ shohabat. Sebagaimana riwayat Imam Ahmad dalam “al-Masa’il-dari riwayat Sholih- (3/129), al-Maruzi dalam “Ikhtilaf al’Ulama’ (hal 125), Ibnu Mundzir dalam ‘Al-‘Ijma’ (hal 91), Ibnu Abdil Bar dalam al-Tamhid, al-Baghowi dalam “Syarh as-Sunnah” (9/37), An-Nawawi “Syarh Muslim” (9/206), Ibnu Hajar al-Asqolany dalam “Fath al-Bari” (12/27), al-Bajiy dalam “al-Muntaqo” (3/272), Ibnu al-‘Arobi dalam “’Aridhoh al-Ahwadzi” (5/25) dan al-Syinqithi dalam “ Mawahib al-Jalil” (3/27). Dalil yang menjadi dasar adanya ijma’ ini di antaranya adalah ayat-ayat di atas, sunnah Nabi dan tradisi (al’Urf) di kalangan sahabat dan tabi’in dan generasi selanjutnya.
4. Perbuatan (‘amal) Sahabat
Beberapa atsar menunjukkan bahwa para shahabat biasa menikahkan anaknya pada usia dini tanpa ada yang saling mengingkari perbuatan tersebut. Dengan demikian para sahabat tidak memandang hal tersebut sebagai khoshois Nabi SAW. Di antara atsar tersebut adalah: (1) Ali bin Abi Tholib ra menikahkan anaknya Ummu Kultsum dengan Umar bin al-Khattab ra pada saat umurnya belum baligh (Riwayat Abdurrozaq dalam al-Mushonnaf dan Ibnu Sa’ad dalam al-Thobaqoot), (2) riwayat dari ‘Urwah bin Zubair; Bahwasanya Zubair ra menikahkan anak perempuannya yang masih kecil ketika dilahirkan (Riwayat Sa’id bin Manshur dalam sunan-nya dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf dengan Isnad yang shohih). Imam Syafi’I dalam al-Umm menyatakan: tidak hanya satu orang shahabat yang menikahkan anak gadisnya pada usia belia.
5. al-‘urf (kebiasaan yang berlaku umum pada suatu tempat)
‘urf menjadi salah satu dasar penetapan hukum dalam Islam, selama ‘urf itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’I lain yang kuat dan tegas. ‘urf memang dapat berubah dengan perubahan zaman dan kebiasaan.
Di Indonesia kebiasaan menikahkan anak adalah tradisi yang terjadi sejak lama. Walaupun akhir-akhir ini semakin berkurang, namun belumlah hilang sama sekali. GhaboNews menyebutkan sekitar 25 persen penduduk Indonesia menikah pada usia dini, atau di bawah usia ideal yang dianjurkan pemerintah yakni 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Berdasarkan Angka Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, jumlah kasus pernikahan dini mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan di Indonesia yakni 19,1 tahun.
Laporan Into A New World: Young Women’s Sexual and Reproductive Lives yang didukung oleh The William H Gates Foundation tahun 1998 telah melansirkan, usia pertama kali melahirkan di Indonesia antara usia 13-18 tahun mencapai 18% dan Pernikahan di bawah usia 18 tahun mencapai 49 persen pada tahun 1998.
Di kota Malang menurut catatan kantor Pengadilan Agama (PA) Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15 tahun meningkat 500 persen dibanding 2007, hingga September 2008 tercatat 10 pernikahan yang usia pengantin perempuannya masih di bawah 15 tahun. (BCZ Online/Kamis, 30 Oktober 2008).
Perspektif Hukum positif
Dalam masalah batas umur untuk kawin di Indonesia Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kemudian dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan, bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan.
Pembatasan usia minimal melangsungkan perkawinan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kawin dibawah umur. Selain itu juga dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata batas usia yang lebih rendah bagi seorang perempuan untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.
Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan secara tegas,”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”(Pasal 1) dan pada pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Secara jelas undang-undang ini mengatakan, tidak seharusnya pernikahan dilakukan terhadap mereka yang usianya masih di bawah 18 tahun.
Berdasarkan hal UU tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI telah menggugat Syekh Puji karena dinilai telah melanggar Undang Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Gugatan publik juga telah dilontarkan oleh Komnas Perempuan. (Jakarta, NU Online Senin, 27 Oktober 2008 03:04)
Pembahasan
1. Tidak boleh aturan apapun menyelisihi syari’at yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam fatwaya Syaikh bin Baz menyatakan: “Usia pernikahan tidak dibatasi dengan ukuran umur tertentu, baik ukuran ukuran umur usia tua (batas umur maksiamal tua) maupun muda (batas minimal umur usia muda). Hal ini berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran dan As-Sunnah menganjurkan pernikahan tanpa mengkaitkan dengan batasan umur tertentu, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
قال الله تعالى : وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاتِي لا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
Dalam ayat di atas terdapat pembolehan untuk menikahi anak (peremupan) yatim yang belum mencapai usia baligh. Dan usia maksimal seseorang termasuk yatim adalah 15 tahun menurut pendapat yang paling tepat (rajih) atau kurang dari itu tanpa batasan usia tertentu.
Hal ini diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW:
“تستأذن اليتيمة في نفسها فإن سكتت فهو إذنها وإن أبت فلا جواز عليها”
Dalam praktenya Nabi menikahi A’isyah pada umurnya 6 atau 7 tahun dan berumah tangga dengannya pada umur 9 tahun. Demikian hukum syariat tersebut berlaku dalam umat Islam sebagaimana para shahabat yang mereka menikah pada usia dini dan usia tua tanpa batasan umur tertentu.
Tidak seorangpun yang diperkenankan membuat syari’at baru di luar syariat Allah dan Rasul-Nya dan merubah Syariat Allah dan Rasul-Nya. Karena syariat tersebut telah mencukupi. Barang siapa berpendapat selain itu, maka dia telah mendholimi dirinya sendiri dan telah membuat syariat bagi manusia dengan hal yang tidak diijinkan/perkenankan oleh Allah SWT. Allah SWT telah mencela jenis manusia seperti mereka dalam firman-NYa:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu (tandingan) yang membuat syariat bagi mereka tentang agama tanpa ijin Allah” (QS. Asy-Syura: 21)
Nabi SAW bersabda:
وقال صلى الله عليه وسلم : ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” متفق عليه . وفي رواية مسلم : ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ” وعلقه البخاري في الصحيح جازما به .
Saya ingatkan orang-orang yang menegakkan aturan yang bertentangan dengan syariat tersebut dengan firman Allah Ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
1. Perkawinan harus dilihat secara integral dan holistik. Bukan hanya aspek legalitas formal yang bersifat normatif yaitu sah dan tidaknya suatu perkawinan, namun harus melihat hakekat dan tujuan dari suatu perkawinan. Di antara tujuan pernikahan yang diterangkan dalam Al-Quran adalah (artinya) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21). Berdasarkan ayat ini jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka.
2. Pernikahan adalah suatu bentuk ibadah yang disakralkan dalam Islam. Pernikahan bukan hanya sekedar legalisasi hubungan seksual semata. Pernikahan bukanlah perampasan hak anak. Pernikahan adalah perpindahan perwalian dari seorang ayah kepada seorang suami. Ayah menyerahkan tanggung jawab mengasihi, menafkahi, melindungi, mendidik, dan memenuhi semua hak anak perempuannya kepada laki-laki yang ia percayai mampu memikul tanggung jawab tersebut. Islam membolehkan menikahkan anak yang sudah baligh atau belum baligh tapi sudah tamyiz (sudah bisa menyatakan keinginannya). Seorang anak yang memasuki pernikahan sesuai dengan syariat Islam tetap terpenuhi hak-haknya. Anak yang belum baligh belum dituntut tapi dipersiapkan untuk mampu melaksanakan semua kewajibannya sebagai seorang istri. Sementara yang sudah baligh mendapatkan hak sekaligus sudah harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri.
3. Pembatasan usia minimal pernikahan dapat berdampak negatif (mudhorot) karena dapat menghambat keinginan para pemuda yang sudah dewasa secara intelektual, emosional, dan finansial namun belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan. Hal tersebut juga menyebabkan meningkatnya tindakan maksiat dalam hubungan lawan jenis dan hubungan seksual di luar nikah, dll.
4. Perlu diketahui bahwa pernyataan para ulama tentang bolehnya menikahi gadis belia tidak berarti boleh menggaulinya dalam hubungan suami-istri (hubungan seksual), bahkan tidak boleh dgauli sampai dia cukup mampu melakukannya. Oleh karena itu, Nabi SAW menunda menggauli Istrinya Aisyah ra. DR. Abdullah al-Faqih dalam fatwanya no.11251 di www.islamweb.com juga menegaskan bahwa suami hendaknya tidak melakukan jima’ dengan istrinya jika istrinya belum siap untuk itu atau jika hal tersebut menimbulkan mudhorat bagi istrinya.
5. Pembolehan bagi seorang bapak kandung (wali) untuk menikahkan anak gadisnya yang masih kecil berkaitan dengan ada-tidaknya maslahat dan hikmah dari pernikahan tersebut. Kemaslahatan dimaksud adalah kemaslahatan bagi anak gadis tersebut, bukan kemaslahatan orang lain termasuk wali sendiri yaitu berupa tercapai tujuan-tujuan pernikahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ’Atiyah Shoqr, pemberian wewenang menikahkan tersebut kepada wali karena pada umumnya sebagai orang tua yang diberi amanah pengasuhan anak, mereka pasti menghendaki kebaikan bagi anaknya. Sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh Abubakar as-Shiddiq ra yang menikahkan putrinya dengan Rasulullah SAW. Oleh karena itu orang tua/wali perlu menilai dengan bijaksana pasangan/calon suami bagi anaknya.
6. Perlu diketahui bahwa pernikahan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah ra pada usia dini adalah pernikahan yang penuh dengan hikmah dan tujuan yang agung. Di antara hikmah pernikahan tersebut yaitu (1) Rasulullah SAW menyiapkan istrinya sebagai da’iyah, muballighoh, dan murabbiyah yang membantu kesuksesan dakwah dan penyampaian risalah. Aisyah ra memiliki kecerdasan yang tinggi dan umur beliau yang masih muda adalah masa yang tepat untuk belajar karena hafalan lebih kokoh dan kemampuan merekam pelajaran lebih mantap. Di samping sebagai pendamping hidup Rasulullah, Aisyah adalah murid spesial dalam madrasah kenabian. Nabi mengajarkan Aisyah secara khusus berbagai permasalahan agama terutama berkaitan dengan urusan privat rumah tangga dan fiqih kewanitaan. Peran Aisyah kemudian adalah menjadi juru bicara Nabi (da’iyah) yang menjelaskan hal tersebut kepada shahabat pada umumnya dan pada shohabiyah khususnya serta para tabi’in (generasi setelah shahabat) yang belajar kepada beliau. Sejarah membuktikan peran dan kontribusi Aisyah ra dalam mewariskan sunnah Rasulullah dengan meriwayatkan hadis sebanyak 2210. (2) Memperkuat hubungan kekerabatan dan kedekatan keluarga antara beliau SAW dengan shahabat beliau yang paling utama yaitu Abu Bakar as-Shiddiq ra.
7. 8. Lebih utama (mustahab) bagi seorang wali untuk tidak menikahkan anak gadisnya yang masih kecil kecuali jika terdapat maslahat dari pernikahan tersebut. Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwa Imam Syafi’I dan imam-imam pengikut madzhab Syafi’I berpendapat bahwa dianjurkan bagi seorang Bapak atau Kakek untuk tidak menikahkan seorang gadis sampai dia baligh dan meminta ijin/kesediaannya agar gadis tersebut tidak terperangkap dalam “penjara pernikahan” yang tidak disukainya. Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadis ‘Aisyah, karena maksud dari pendapat para Imam tersebut adalah tidak menikahkan gadis sebelum baligh jika tidak terdapat maslahat yang jelas/pasti yang dikhawatirkan akan hilang jika dilambatkan, sebagaimana yang terjadi pada pernikahan ’Aisyah ra. Jika ada maslahat yang bisa dihasilkan, maka pernikahan dianjurkan karena seorang bapak diperintahkan untuk memperhatikan maslahat anaknya dan tidak melalaikan/membiarkannya hilang. Wallahu A’lam.
8. 9. Jika menimbulkan kemudhoratan, maka hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil yang melarang melakukan sesuatu yang menimbulkan kemudharatan baik bagi diri sendiri maupun orang lain, di antaranya : la dhorara wala dhirara. Atau jika mudhorot yang akan terjadi diperkirakan lebih besar maka juga menjadikan pernikahan tersebut terlarang sesuai kaidah : daf’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-Masholih. Syaikh Walid bin Ali al-Husain bahkan menganggap pernikahan anak gadis oleh orang tuanya dengan tujuan mendapatkan imbalan harta dari orang yang akan dinikahkan dengannya, tanpa memperhatikan kemaslahatan anaknya, maka pernikahannya tidak sah.
10. Bila anak telah baligh, perlu minta ijin/persetujuan anak tersebut, berdasarkan hadis:
( وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا ، وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا } رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ
Dari Ibnu Abbas ra, belia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seorang janda lebih berhak untuk mengatur dirinya (dalam mengambil keputusan menikah) daripada walinya. Seorang anak gadis dimintai ijin/persetujuannya mengenai dirinya. Dan tanda ijin darinya adalah diamnya” (HR. al-jama’ah dari mukharrij hadis kecuali Imam Bukhari)
Penutup
Dalam perspektif ketentuan hukum positif, nikah dini dinilai melanggar pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan No. 1 tahun 1979 yang mensyaratkan usia pihak calon mempelai perempuan minimal berusia 16 tahun.
Sebagai solusi terhadap permasalahan legalitas tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah orang tua mengajukan dispensasi umur perkawinan ke Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 7 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga mendapat pengesahan Negara.
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar